Rabu, 04 Februari 2015

Pendekatan-pendekatan dalam memahami agama



Berbagai pendekatan di dalam memahami agama
A.    Pendekatan teologis normatif
Perbedaan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dari yang lainnya. Amin abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[1]
Dari pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lain adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham laiinya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya, begitu sebaliknya. [2]
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. Pendekatan  teologis ini selanjutnya erat kaitanya dengan pedekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.[3]
B.     Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabanya. Dari sini timbu kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari lingkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[4]
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dan kondisi ekonomi dan politik. Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. dalam hubungan ini maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaanya. Dengan demikian pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[5]
C.     Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masarakat, dan menyelediki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.[6]
Dari definisi diatas, sosiologi adalah ilmu yang mengambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Jalaluddin rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam terdapat masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.    Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitb hadis, proporsi terbesar kedua sumber islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
2.    Bahwa ditekankannya masalah-masalah muamalah atau sosial dalam islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh dipendek atau ditangguhkan.
3.    Bahwa yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.[7]
4.    Dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tebusan) ia melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.    Dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
D.    Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata pilo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Pada intinya berupaya menjelaskan inti hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek fenomena. Atau mencari inti di balik lahiriyah yang ada, contohnya perbedaan dalam hal bentuk namun memiliki hakikat yang sama yaitu sebagai tempat berteduh.[8]
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Melalui pendekatan filosofi ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengenalkan agama dengan susah payah tapi tidak mengalami makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Namun dmikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Pendekatan filosofi yang bercorak perenialis ini, walaupun secara teoritis memberikan harapan dan kesejukan, namun belum secara luas dipahami dan diterima kecuali oleh sekelompok kecil saja.  Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
E.     Pendekatan Historis
Sejarah atau historis atau suatu ilmu yang di dalamnya membahas ilmu yang mengandung unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Dengan ilmu ini maka suatu peristiwa akan dapat terlihat.melalui pendekatan ini kita diajak untuk menuklik dari alam ideal ke empiris.[9]
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komperhensip mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.
F.      Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan atau hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, moral, adat istiadat dan lain sebagainya. Yang selanjutnya semuanya itu digunakan blue print bagi seseorang digunakan untuk menjawab masalah yang dihadapinya.[10]
Kebudayan yang demikian selanjutnya pula dapat digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Kedalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi.
G.    Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakia Daradjat, bahwa perilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Kita mislanya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan samapi pada agama. Seorang teolog, sosiologi, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan kebudayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.



[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (jakarta; raja grafindo persada, 2003), 28
[2] Ibid.,29
[3] Ibid., 29
[4] Ibid., 30
[5] Ibid., 35
[6] Ibid., 38
[7]Ibid.,  39-40
[8] Ibid., 42
[9] Ibid., 46
[10] Ibid., 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar