Berbagai pendekatan di dalam memahami agama
A.
Pendekatan
teologis normatif
Perbedaan teologis normatif dalam
memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dari yang lainnya. Amin abdullah mengatakan, bahwa teologi,
sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak mengacu pada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis.[1]
Dari pemikiran diatas, dapat
diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan
yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lain adalah salah. Aliran
teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar
sedangkan paham laiinya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu
keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya, begitu sebaliknya. [2]
Pendekatan teologis dalam memahami
agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal
dari tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu,
melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil
dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan diatas telah
menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis,
tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitanya dengan
pedekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia.[3]
B.
Pendekatan
Antropologis
Pendekatan antropologis dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabanya. Dari sini timbu kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun
kelapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari lingkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.[4]
Sejalan dengan pendekatan tersebut,
maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya
hubungan positif antara kepercayaan agama dan kondisi ekonomi dan politik. Melalui
pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan
etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. dalam hubungan ini maka
jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat
dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaanya. Dengan demikian
pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan
lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[5]
C.
Pendekatan
Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hidup bersama dalam masarakat, dan menyelediki ikatan-ikatan antara
manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan
hidup manusia.[6]
Dari definisi diatas, sosiologi
adalah ilmu yang mengambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Jalaluddin rahmat telah menunjukkan
betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam terdapat masalah sosial,
dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.
Dalam
Al-Qur’an atau kitab-kitb hadis, proporsi terbesar kedua sumber islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah.
2.
Bahwa
ditekankannya masalah-masalah muamalah atau sosial dalam islam adalah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting
maka ibadah boleh dipendek atau ditangguhkan.
3.
Bahwa
yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah
yang bersifat perseorangan.[7]
4.
Dalam
islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal
karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tebusan) ia
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.
Dalam
islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat
ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Melalui pendekatan sosiologis agama
akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial.
D.
Pendekatan
Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata pilo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan
hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia. Pada intinya berupaya menjelaskan inti hakikat
atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek fenomena. Atau mencari
inti di balik lahiriyah yang ada, contohnya perbedaan dalam hal bentuk namun
memiliki hakikat yang sama yaitu sebagai tempat berteduh.[8]
Berfikir secara filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami
secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak
dilakukan oleh para ahli. Melalui pendekatan filosofi ini, seseorang tidak akan
terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengenalkan
agama dengan susah payah tapi tidak mengalami makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Namun dmikian, pendekatan filosofis
ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang
bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik,
sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Pendekatan filosofi yang bercorak perenialis ini, walaupun secara teoritis
memberikan harapan dan kesejukan, namun belum secara luas dipahami dan diterima
kecuali oleh sekelompok kecil saja.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal
pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya.
E.
Pendekatan
Historis
Sejarah atau historis atau suatu
ilmu yang di dalamnya membahas ilmu yang mengandung unsur tempat, waktu, objek,
latar belakang dan pelaku. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang
terlibat dalam peristiwa tersebut. Dengan ilmu ini maka suatu peristiwa akan
dapat terlihat.melalui pendekatan ini kita diajak untuk menuklik dari alam
ideal ke empiris.[9]
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk
kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik,
aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Selanjutnya jika
pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman
yang komperhensip mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kedua yang
berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama
keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya.
F.
Pendekatan
Kebudayaan
Kebudayaan atau hasil daya cipta
manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, moral, adat
istiadat dan lain sebagainya. Yang selanjutnya semuanya itu digunakan blue
print bagi seseorang digunakan untuk menjawab masalah yang dihadapinya.[10]
Kebudayan yang demikian selanjutnya
pula dapat digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya
atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya
dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya menjumpai
kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Kedalam produk
kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi.
G.
Pendekatan
Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu
yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
Menurut Zakia Daradjat, bahwa perilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi
karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam ajaran agama banyak
kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Dengan
ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Kita mislanya dapat mengetahui pengaruh
dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas kita
melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan
pendekatan itu semua orang akan samapi pada agama. Seorang teolog, sosiologi,
antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan kebudayawan akan sampai pada
pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya
monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami
semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari
keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh
persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar