Rabu, 04 Februari 2015

Pendekatan-pendekatan dalam memahami agama



Berbagai pendekatan di dalam memahami agama
A.    Pendekatan teologis normatif
Perbedaan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dari yang lainnya. Amin abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[1]
Dari pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lain adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham laiinya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya, begitu sebaliknya. [2]
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. Pendekatan  teologis ini selanjutnya erat kaitanya dengan pedekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.[3]
B.     Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabanya. Dari sini timbu kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari lingkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[4]
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dan kondisi ekonomi dan politik. Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. dalam hubungan ini maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaanya. Dengan demikian pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[5]
C.     Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masarakat, dan menyelediki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.[6]
Dari definisi diatas, sosiologi adalah ilmu yang mengambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Jalaluddin rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam terdapat masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.    Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitb hadis, proporsi terbesar kedua sumber islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
2.    Bahwa ditekankannya masalah-masalah muamalah atau sosial dalam islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh dipendek atau ditangguhkan.
3.    Bahwa yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.[7]
4.    Dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tebusan) ia melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.    Dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
D.    Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata pilo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Pada intinya berupaya menjelaskan inti hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek fenomena. Atau mencari inti di balik lahiriyah yang ada, contohnya perbedaan dalam hal bentuk namun memiliki hakikat yang sama yaitu sebagai tempat berteduh.[8]
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Melalui pendekatan filosofi ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengenalkan agama dengan susah payah tapi tidak mengalami makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Namun dmikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Pendekatan filosofi yang bercorak perenialis ini, walaupun secara teoritis memberikan harapan dan kesejukan, namun belum secara luas dipahami dan diterima kecuali oleh sekelompok kecil saja.  Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
E.     Pendekatan Historis
Sejarah atau historis atau suatu ilmu yang di dalamnya membahas ilmu yang mengandung unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Dengan ilmu ini maka suatu peristiwa akan dapat terlihat.melalui pendekatan ini kita diajak untuk menuklik dari alam ideal ke empiris.[9]
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komperhensip mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.
F.      Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan atau hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, moral, adat istiadat dan lain sebagainya. Yang selanjutnya semuanya itu digunakan blue print bagi seseorang digunakan untuk menjawab masalah yang dihadapinya.[10]
Kebudayan yang demikian selanjutnya pula dapat digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Kedalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi.
G.    Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakia Daradjat, bahwa perilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Kita mislanya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan samapi pada agama. Seorang teolog, sosiologi, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan kebudayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.



[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (jakarta; raja grafindo persada, 2003), 28
[2] Ibid.,29
[3] Ibid., 29
[4] Ibid., 30
[5] Ibid., 35
[6] Ibid., 38
[7]Ibid.,  39-40
[8] Ibid., 42
[9] Ibid., 46
[10] Ibid., 50

Senin, 27 Oktober 2014

teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur'an



BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang Masalah
Dalam filsafat Pendidikan Islam salah satu tokoh Pendidikan Islami yang masuk kategori moderat, dalam arti di tengah label tradisional dan modern, adalah Abdurrahman Saleh Abdullah (selanjutnya disebut Abdurrahman), seorang pemikir Pendidikan Islami jebolan Universitas Ummul Qura` Makkah Saudi Arabia. Dalam percaturan tokoh-tokoh muslim Indonesia, salah satu tokoh penting yang juga merupakan jebolan universitas ini adalah KH. Said Aqil Siraj, yang kini menjadi ketua umum organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Melalui karyanya yang berjudul :Educational Theory : a Qur`anic Outlook, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur`an, kita dapat membaca bangunan pemikiran Pendidikan Islami Abdurrahman secara cukup komprehensif. Buku berisi 237 halaman (buku original berbahasa inggris 239 halaman dan diterbitkan oleh Educational and Psychological Research Center, Faculty of Education, Ummul Qura University).
Buku ini menjadi referensi penting bagi siapapun yang ingin mempelajari konsep Pendidikan Islamii yang berbasis al-Qur`an. Karena memang buku ini menggali dan membahas teori dan filsafat pendidikan menurut sudut pandang al Qur’an.





BAB II
Pembahasan
Mengawali kajian dalam buku tersebut Abdurrahman memulainya dengan pembahasan tentang teori dalam al-Qur`an tentang pendidikan. Tinjauan Abdurrahman mengenai  teori al-Qur`an tentang pendidikan, memberikan kesan yang agak berbeda dengan yang telah ada sebelumnya, yang mengesankan tradisional dan pengkajiannya ini bahkan dapat digolongkan sebagai satu keberanian sekalipun menurut kalangan tertentu, tidak diperoleh suatu hal yang baru di dalamnya.
Konstruks pemikiran yang ditulis Abdurrahman dalam buku ini mencoba untuk melengkapi beberapa poin kritis tentang kajian teori pendidikan berbasis al-Qur`an yang luput ditangkap dalam beberapa karya tulis senada oleh para pemikir semasanya seperti Majid al-Kilani dan Ali K. Modawi.
Posisi Abdurrahman dalam jajaran kaum intelektual Pendidikan Islami cukup diperhitungkan karena ia menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam konferensi internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 bersama tokoh sekaliber M. Nequib al-Attas. Sebagaimana dimaklumi bahwa konferensi tersebut telah melahirkan keputusan-keputusan penting terkait rumusan-rumusan pendidikan Islam yang kemudian menjadi acuan bagi umat Islam sedunia.
Beberapa konten yang dikupas penulis berkaitan dengan Pendidikan Islami antara lain tentang teori, eksistensi manusia dalam pendidikan, ilmu dan akal, tujuan pendidikan, materi serta metode pendidikan.
1.    Teori Pendidikan
Tentang Teori pendidikan, menurut Abdurrahman, untuk mendapatkan suatu teori pendidikan dari al-Qur`an dituntut suatu keberanian tersendiri untuk melakukan kontinuitas ijtihad, sehingga al-Qur`an tidak menjadi sekedar simbolisme keagamaan dan sekedar mutiara hikmah yang dianggap sakral.
Al-Qur`an seharusnya melahirkan fondasi ideologi Islam. Maka dari itu setiap permasalahan Pendidikan Islami harus dirujukan kepada pemahaman dasar prinsipnya. Dan al-Qur`an sendiri banyak mengandung prinsip-prinsip pendidikan.
Namun agaknya masih tetap sulit menemukan benang merah antara Pendidikan Islami dengan konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur`an. Sebagai contoh : kata Tarbiyah misalnya yang berasal dari kata rabb, masih dipahami berbeda oleh para pemikir Pendidikan Islami. Qurtubi berpendapat bahwa ia bermakna description given to anyone who perform a thing in a complete manner. Sementara ar-Razi memaknainya ada perbedaan antara Tuhan sebagai pendidik dan manusia sebagai pendidik. Allah sebagai pendidik bermakna bahwa Dia Maha Tahun kebutuhan peserta didik-Nya, Karena Dia sebagai pencipta.
Term lain yang dikaitkan dengan konsep pendidikan adalah kata Qur`an dan kitab. Al-Qur`an diambil dari qara`a yang berarti membaca dan kitab dari kata kataba yang artinya menulis. Kedua kata ini dapat dikaitkan dengan Pendidikan Islami, namun problemnya adalah bagaimana menyerap konsep pendidikan dari al-Qur`an tersebut.
Al-Qur`an sebagai sumber primer Pendidikan Islami haruslah dieksplorasi untuk mendukung dan menjadi basis sistem pendidikan secara keseluruhan, dengan tidak menafikan ilmu-ilmu lain. Peserta didik semestinya diajak untuk lebih mampu menangkap makna yang terkandung dibalik kalam Allah, karena symbol-simbol yang beberkan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya tidak akan memberika makna berarti tanpa melakukan upaya-upaya ijtihadi untuk menangkap maknanya.
2.    Eksistensi manusia dalam pendidikan
Terkait eksistensi manusia dalam pendidikan, Abdurrahman menjelaskan bahwa manusia merupakan sentral utama yang dituju dalam proses pendidikan. Seorang pendidik akan sukses bila ia memiliki pemahaman yang lengkap tentang manusia sebagai subyek didiknya.
Beberapa hal yang harus dipahami terkait eksistensi manusia dalam pendidian adalah : 1) Konsep manusia sebagai khalifah di muka bumi, 2) Fitrah manusia dalam proses kependidikan, 3) Hubungan Fitrah dan Ruh, 4) Kehendak Bebas Manusia, dan 5) Implikasi Kependidikan.
Dalam term al-Qur`an eksistensi manusia dalam pendidikan dapat dipahami melalui pemaknaan kata khalifah di muka bumi, yang tertera dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 30 :
ø øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
Artinya :“ ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Abdurrahman, menjelaskan makna khalifah dengan cukup eksploratif dan kritis. Menurutnya khalifah berasal dari kata khalafa yang artinya mengganti dan melanjutkan. Secara terminologis khalifah berarti person yang menggantikan person lain. Dan secara filosofis setidaknya ada tiga pandangan yang menjelaskan makna khalifah :
1.        Manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di bumi. Karena diakui bahwa jin mendahului manusia maka manusia sebagai pengganti jin,
2.        Manusia dipahami sebagai sekelompok masyarakat yang menggantikan kelompok masyarakat lain, dan
3.        Proses istikhlaf dianggap lebih penting menjadi fokus pembahasan khalifah karena dinyatakan bahwa khalifah tidak secara sederhana menggantikan yang lainnya, yang secara nyata memang benar-benar khalifah Allah.
Dan sebagai khalifah manusia sangat potensial untuk dapat mengembangkan kemanusiaannya dengan meneladani sifat-sifat Allah untuk meraih kualitas dalam bentuk prestasi dan tiada henti berkreasi di muka bumi secara produktif.

3.    Ilmu dan akal
Tentang ilmu dan akal, Abdurrahman meng-eksplanasikan urgensi ilmu pengetahuan bagi manusia, nilai lebih manusia karena akal yang membuatnya menjadi makhluk paling cerdas, dan korelasi peradaban manusia dengan perkembangan bahasa sebagai kunci awal lahirnya peradaban manusia itu sendiri.
Pengetahuan (knowledge) adalah salah satu perlengkapan dasar manusia dalam menempuh kehidupan ini, dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas yang diperolehnya. Demikian Abdurrahman menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia.
Beberapa term yang diusung al-Qur`an untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan antara lain menggunakan kata ‘ilm dan ma’rifat. Secara etimologis keduanya berarti sama, yaitu pengetahuan. Tetapi secara terminologis, Abdurrahman membedakan kedua term tersebut. ‘Ilm menurutnya mempunyai pengertian yang lebih luas, sementara ma’rifat menunjuk pengertian salah satu aspek pengetahuan saja. Dengan demikian maka ‘Ilm lebih tinggi tingkatannya dibandingkan ma’rifat karena ‘ilm ini tidak terbatas pada satu aspek pengetahuan sebagaimana tingkat ma’rifat.
Anti tesis dari term ‘ilm dan ma’rifat adalah term jahl yang berarti bodoh dan merupakan kebalikan dari ‘ilm. Kata ini menunjuk kepada tiga pengertian terminologis. Pertama, menunjuk kepada orang yang tidak mempunyai pengetahuan. Kedua, berarti pikiran picik, dan ketiga mengungkapkan pola dasar tingkah laku yang menyimpang dari ajaran Allah.
4.    Tujuan pendidikan
Tentang tujuan pendidikan, Abdurrahman mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menggali dan meningkatkan potensi peserta didik, sehingga ia dapat memfungsikan secara optimal kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Dan untuk mencapai tujuan ideal tersebut, kurikulum sekolah harus dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, aktivitasnya harus didesain dalam berbagai bentuk sehingga subyek didik bisa mencapai tujuan yang dikehendaki.
Dalam konteks penyusunan kurikulum di atas, Abdurrahman sedikit berbeda dengan pakem sistem pendidikan yang diterapkan di universitas Ummul Qura dimana ia belajar. Saat itu sistem pendidikan Ummul Qura masih menggunakan traditional approach yang mengutamakan hafalan dibandingkan metode analisis kritis.
Bagi Abdurrahman, muatan kurikulum harus disusun dan dirancang tidak hanya mengembangkan kemampuan dan kepentingan dunia oriented tetapi juga meningkatkan etos dan martabat manusia yang kelak akan menghadap Tuhannya di hari akhirat. Hal ini menegaskan bahwa tujuan Pendidikan Islami jauh lebih luas dan mendasar dibandingkan dengan tujuan pendidikan secara umum. Dan ini berkorelasi kuat dengan konsep manusia sebagai khalifah yang tugas utamanya adalah mengabdi kepada Tuhannya baik secara vertical maupun horizontal.
Disamping itu tujuan Pendidikan Islami yang paling puncak adalah tercapainya derajat manusia sebagai manusia sempurna, insan kamil, man’ completion, yang berkedudukan mulia di sisi Tuhannya.
5.      Materi pendidikan
Tentang materi pendidikan, Abdurrahman menegaskan bahwa materi, isi, konten atau kurikulum bukanlah tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan, tapi ia adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih ideal. Materi pendidikan harus fleksibel dan bisa dimodifikasi dalam berbagai cara untuk pencapaian sebuah tujuan.
Bagi Pendidikan Islami, segala sesuatu yang berkaitan dengan al-Qur`an dan Hadits serta bahasa al-Qur`an menjadi prioritas utama dari sebuah acuan pendidikan. Muatan sebuah kurikulum harus juga memasukan ilmu pengetahuan yang concern dengan kajian alam (al ‘ulum al kauniyah).
Sementara, sebagaimana dipotret Abdurrahman, dalam proses pendidikan Islam masih banyak ditemukan kurikulum pendidikan Islam yang bersifat stagnan dan menerapkan dualisme kurikulum dan belum adanya upaya serius yang dilakukan oleh para penggagas praktek pendidikan Islam untuk melakukan inovasi brilian. Jikapun mereka melakukan inovasi, selalu yang dijadikan rujukan adalah sistem pendidikan barat yang memiliki basis nilai berbeda dengan pendidikan islam dengan mengadopsinya tanpa memodifikasinya secara cerdas dan substansial.
Dalam konteks di atas, Abdurrahman mengingatkan ada dua fenomena mengkhawatirkan yang harus diwaspadai oleh para pendidik muslim dalam praktek penyelenggaraan pendidikan Islam yang muncul dari dualisme kurikulum pendidikan. Pertama, muatan kurikulum baru berupa disiplin ilmu non keislaman akan mendapat peluang durasi waktu yang lebih lama sehingga pelan tapi pasti akan menggusur essensial Islamic science yang merupakan kurikulum inti pendidikan Islami. Kedua, adanya gejala adopsi sistem pendidikan sekuler yang sangat kontra dengan jalan pikiran Islam. Jika nilai-nilai sekuler ini berkecambah luas ditengah para pelajar maka akan memberikan pengaruh besar dalam kelembagaan pendidikan Islam.
Antipati Abdurrahman terhadap sekularisme dalam praktek pendidikan Islam menurutnya dikarenakan sekularime akan membuang jauh-jauh agama dalam aspek-aspek tertentu dari kehidupan manusia dan lebih mengkhususkan pendidikan hanya pada domain ilmiah.
6.    Metode pendidikan
Mengakhiri tulisannya, Abdurrahman mengulas secara detil tentang signifikansi metode pendidikanyang tepat dalam menyampaikan materi pendidikan agar sampai kepada tujuan yang diharapkan pendidikan itu sendiri. Dan pembicaraan tentang metode tidak bisa lepas dari tugas guru. Ada tiga bahasan utama yang dikajinya dalam bab ini. Pertama, hakekat metode dan relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam, yakni membentuk pribadi orang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah Swt. Kedua, pentingpenelitian tentang penerapan dan aktualisasi metode-metode instruksional yang merujuk kepada al-Qur`an. Ketiga, berkenaan dengan pemberian motivasi atau disiplin serta terma-terma al-Qur`an tentang ganjaran dan hukuman (reward and punishment/tsawab dan ’iqab).
Ada beberapa metode yang dipilihkan Abdurrahman yang menurutnya relevan dan bisa efektif digunakan dalam praktek pendidikan Islam juga karena metode-metode ini dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur`an yaitu : metode cerita dan ceramah, metode diskusi, Tanya jawab atau dialog, metode perumpamaan atau metafora, metode simbolisme verbal dan metode hukuman dan ganjaran.
Di akhir pembahasan tentang metode ini, Abdurrahman menyampaikan bahwa anak didik dan pendidik adalah dua unsure pokok yang harus ada dalam proses pendidikan. Peranan pendidik adalah penting karena keterlibatannya dalam bimbingan aktivitas-aktivitas di sekolah yang mengacu kepada tujuan-tujuan yang diidamkan. Pengaruh pendidik bagi anak didiknya itu datang melalui jalan memberikan ide-ide yang dibangun bersama sebagaimana tingkah laku pribadinya. Dan karena pengajaran merupakan aktivitas kependidikan, maka pendidik atau guru harus member yang terbaik untuk memotivasi setiap anak didiknya dengan memilih metode yang berguna.









BAB III
Penutup
A.  Kesimpulan
Demikian review singkat buku karya Abdurrahman Saleh Abdullah ini. Gagasan-gagasan Abdurrahman yang tertuang dalam buku ini menggambarkan dan mengingatkan para pemerhati dan pengelola pendidikan Islami untuk tetap menjadikan al-Qur`an sebagai basis utama pendidikan Islami dalam merumuskan teori, filsafat, tujuan, konsep ideal pendidik dan anak didik, muatan kurikulum dan metode pendidikan Islami. Mengabaikan sistem pendidikan berbasis al-Qur`an dan lebih membangga-banggakan sistem pendidikan yang disodorkan barat dalam praktek pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan sebuah ironi besar yang kini tengah dialami dunia Islam sendiri. Ini menyebabkan pendidikan Islami masih terhimpit sistem pendidikan ala barat dan masih mengalami kesulitan untuk maju dan dapat dibanggakan. Tugas kita bersama untuk memecahkan problem besar pendidikan Islami ini.